Perdebatan mengenai kesenjangan antara harapan kompetensi industri dan kenyataan kompetensi lulusan perguruan tinggi semakin menjadi sorotan. Dunia industri memiliki harapan tinggi terhadap lulusan perguruan tinggi, menginginkan mereka memiliki keterampilan yang relevan dan mampu beradaptasi dengan cepat dalam lingkungan kerja yang dinamis. Namun, seringkali terjadi ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan oleh industri dan apa yang sebenarnya dimiliki oleh lulusan.
Salah satu masalah utama adalah kurangnya keterlibatan langsung perguruan tinggi dengan industri dalam merancang kurikulum dan program pembelajaran. Hal ini dapat menyebabkan ketidakcocokan antara apa yang diajarkan di perguruan tinggi dan kebutuhan aktual di lapangan kerja. Selain itu, perubahan cepat dalam teknologi dan tuntutan pasar juga menimbulkan tantangan baru bagi perguruan tinggi dalam mempersiapkan lulusan untuk dunia kerja yang terus berubah.
Baca juga:
Anies Baswedan di Mata Seorang Sudjono
|
Akibatnya, banyak lulusan perguruan tinggi menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan karena kurangnya keterampilan yang relevan atau kesesuaian dengan kebutuhan industri. Ini tidak hanya merugikan lulusan secara individu tetapi juga menciptakan ketidakpuasan di antara para pemangku kepentingan, termasuk dunia industri, perguruan tinggi, dan masyarakat umum.
Pada tahun 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menyatakan bahwa sebanyak 13, 33% lulusan perguruan tinggi masih berstatus pengangguran. Lebih jelasnya, terdapat 1.120.128 orang lulusan perguruan tinggi yang terhitung pengangguran pada tahun 2022, dengan rincian 235.559 lulusan perguruan tinggi vokasi dan 884.759 lulusan perguruan tinggi akademik.
Oleh karena itu, diperlukan upaya kolaboratif antara perguruan tinggi dan industri untuk mengatasi kesenjangan ini. Perguruan tinggi perlu lebih responsif terhadap perubahan dalam tuntutan pasar kerja, sementara industri dapat berperan aktif dalam memberikan masukan dan mendukung program-program pendidikan yang relevan. Dengan demikian, dapat diciptakan lulusan yang lebih siap secara profesional dan dapat memberikan kontribusi yang bernilai bagi dunia industri yang semakin kompleks.
Sebagai orang tua calon mahasiswa, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam situasi ini karena anak-anak kita bisa menjadi korban. Kita perlu mulai mengidentifikasi minat dan kemauan anak terhadap profesi di masa depan mereka sejak dini. Orang tua harus cerdas dalam membedakan antara profesi yang memerlukan ijazah sebagai syarat administratif dan profesi yang tidak. Dan mulai memberikan pemahaman sejak dini kepada anak-anak.
Beberapa profesi memang mensyaratkan ijazah sebagai legitimasi awal keahlian. Sebagai contoh, profesi seperti akuntan, pengacara, dokter, apoteker, dan lainnya. Akan tetapi, ada juga profesi yang lebih berbasis keahlian dan portofolio seperti software engineering, desain komunikasi visual, desainer mode, pelukis, dan sejenisnya.
Profesi yang berbasis ijazah, kita harus mengarahkan anak kita kepada perguruan tinggi yang memiliki jurusan tersebut, akan tetapi untuk jurusan berbasis portofolio, mungkin jalur informal seperti kursus yang fokus cukup menjadi solusi yang rendah biaya dan mereka fokus pada banyaknya latihan dan praktek nyata. Sebagai tambahan, mereka bisa mengambil kuliah lain secara online untuk profesi berbasis ijazah sebagai pintu alternatif atau sebagai penunjang lain untuk keahliannya.
Pekerjaan berbasis kompetensi dan portofolio yang dituntut banyak praktek, karya, dan pengalaman tentunya tidak akan tercapai jika dilakukan di kampus yang memiliki kurikulum formal yang banyak yang harus dipenuhi. Sedangkan pendidikan informal lebih fokus ke satu bidang yang diulang-ulang sampai dalam dan mahir, jika sudah mahir mereka bisa melanjutkan ke berbagai proyek sehingga menjadi portofolio bagi anak didiknya.