Baru-baru ini, saya berkunjung ke sebuah kampus dan berdiskusi dengan beberapa rekan dosen. Kami sering berbicara tentang tridarma perguruan tinggi, khususnya penelitian. Salah satu topik yang menarik adalah tentang skripsi mahasiswa S1. Di kampus itu, skripsi tidak lagi diuji melalui sidang komprehensif, tetapi harus dipublikasikan dalam jurnal ilmiah minimal Sinta 4 sebagai syarat kelulusan.
Menurut saya, pendekatan ini sangat inovatif. Program S1 bertujuan mengajarkan mahasiswa cara menulis hingga mampu menghasilkan karya yang layak dipublikasikan. Publikasi tersebut tidak hanya membantu mahasiswa mendapatkan pengakuan atas karya mereka melalui bimbingan dosen, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang kualitas karya tersebut. Namun, kita perlu optimis bahwa dosen pembimbing yang terpilih memiliki kemampuan menulis ilmiah yang memadai.
Baca juga:
Sidang TPP Lapas Permisan Hadirkan 28 WBP
|
Dengan mempublikasikan skripsi dan ringkasannya dalam jurnal, verifikasi publik atas karya tersebut menjadi mungkin. Selama ini, banyak skripsi hanya menjadi koleksi perpustakaan dan tidak dapat diakses luas oleh publik. Dengan adanya repositori di setiap kampus yang menyimpan karya mahasiswa dan upaya publikasi di jurnal eksternal, akses publik terhadap karya akademik meningkat.
Menghapus sidang komprehensif skripsi juga membawa banyak keuntungan, seperti percepatan kelulusan mahasiswa dan menghindari konflik laten antar dosen yang sering kali terjadi karena perbedaan penilaian. Tak jarang, dosen yang mahasiswanya tidak lulus merasa tersinggung dan mungkin membalas di lain waktu pada mahasiswa bimbingan dosen yang sebelumnya tidak meluluskan mahasiswa mereka. Pola ini sering terjadi dan mahasiswa lah yang menjadi korban.
Mungkin sudah waktunya semua perguruan tinggi mulai menerapkan pendekatan berbasis output publik seperti ini, sebagai bentuk transparansi dan verifikasi publik.